Inilah Raja Wanita yang Pernah Berkuasa Setengah Abad di Tanete Barru

Daftar Isi
PustakawanBarru.com - Bugis memiliki wanita berpikiran maju sejak dulu. Dengan kepeduliannya pada pendidikan modern, We Tenriolle adalah salah satunya. Di sebuah distrik bernama Tanete, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, sebuah makam berdiri elok di belakang sebuah masjid. Makam megah berwarna putih terawat itu, tak lain makam dari We Tenriolle. Semua orang di sekitar makam itu paham itu adalah makam We Tenriolle. Seorang raja wanita Bugis di masa lalu.

We Tenriolle adalah Sultan wanita Tanete yang mempunyai jasa dalam memperkenalkan sastra Bugis kepada orang-orang Barat. We Tenriolle adalah seorang wanita, ini mungkin sebuah kemustahilan, karena jabatan Sultan, setidaknya sejak zaman perkembangan Islam hampir selalu dipegang oleh lelaki. Ini sangat mengagumkan.


Wanita Juga Bisa Seperti Pria


We Tenriolle adalah wanita yang sesungguhnya mengagumkan, melainkan kepeduliannya pada kekusastraan Bugis khususnya dan pendidikan di Tanete. Dimana pendidikan itu juga terbuka untuk wanita. Sangat disayangkan, We Tenriolle nyaris tidak pernah disebut dalam sejarah. Buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1978) yang diterbitkan secara resmi dari Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) juga tidak menyebut namanya.

Namanya tidak pernah disejajarkan dengan R.A. Kartini yang lebih dulu ‘dipopulerkan’ secara berlebihan dalam sejarah Indonesia, meski apa yang dilakukannya lebih kongkret, dimata beberapa orang, bahkan lebih hebat daripada Kartini.

Sulawesi Selatan tidaklah berbeda dengan Aceh yang memiliki Cut Nyak Dien dan Cut Mutiah. Sulawesi Selatan juga memiliki wanita-wanita pemberani macam wanita Aceh itu. Beberapa dari wanita-wanita itu dengan berani turun ke medan perang untuk berperang. Sebut saja We Maniratu—salah seorang wanita Bugis penentang pemerintah kolonial Belanda di tanah Bugis pada abad XIX.

We Tenriolle salah satu dari beberapa wanita Bugis yang menjadi penguasa di Sulawesi Selatan. We Tenriolle berbeda dengan Cut Nyak Dien maupiun Kartini. Wanita adalah penguasa yang berusaha menjaga kekuasaan dengan baik. Karenanya dia bisa berkuasa dalam waktu yang cukup lama—walau tidak selama seperti Victoria di Inggris.

Orang-orang menerapkan kesetaraan Gender dalam sistem kekerabatan mereka. Antara laki-laki dengan perempuan, keduanya memiliki peran sejajar dalam kehidupan sosial. Antara pihak ayah dengan ibu memiliki peran sama dalam menentukan garis kekerabatan. Walau dengan masuknya Islam seolah menampakkan laki-laki lebih dominan, namun wanita tetap memiliki kebebasan dan tanggung jawab—sesuatu yang mengundang kagum orang-orang barat yang meneliti di Sulawesi pada abad XIX.

Thomas Stanford Raffles, dalam History Of Java (1817) mengenai wanita Sulawesi Selatan menuliskan tentang wanita Bugis,

“tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajuan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka dibagian dunia lain.” (Raffles, Histry Of Java, lampiran F, “Celebes”:CLXXIX)

Orang-orang barat lain, seperti Crawfurd, juga menulis tentang peran wanita Bugis dalam kehidupan sehari-hari. Wanita-wanita itu tidak dibedakan dengan kaum pria, mereka bahkan bisa bersaing dengan kaum pria untuk memainkan peran politik dalam masyarakat.

“Perempuan tampil dimuka umum adalah sesuatu yang wajar; mereka aktif dalam semua bidang kehidupan; menjadi mitra diskusi pria dalam segenap urusan publik, bahkan tidak jarang menduduki tahta kerajaan, padahal menjadi raja ditentukan lewat pemilihan.” (Crewfurd, History, h. 74.)

Posisi seimbang antara wanita dengan pria di tanah Bugis, didukung dalam sistem perkawinan orang Bugis. Setelah acara resepsi pernikahan, pasangan pengantin baru itu tinggal di rumah orang tua istri, sehingga tidak memberi ruang bagi suami untuk mendominasi istrinya. Rumah yang dimiliki pasangan itu juga dibagi menjadi dua bagian, bagian depan sebagai wilayah suami dan bagian belakang milik istri. Namun istri sering juga berada di bagian depan rumah dan akan kebelakang bila ada tamu pria asing (bukan kerabat) wilayah lain selain rumah bagian belakang, wilayah kekuasaan wanita adalah loteng—yang biasa digunakan untuk menyimpan padi juga tempat tidur gadis-gadis yang belum menikah pada zaman dulu.

Antara pria dan wanita Bugis ada pembagian kerja dalam kehidupan sehari-hari yang sebenarnya sama beratnya. Mengolah tanah dan beternak adalah tugas laki-laki, namun menumbuk padi atau menenun dan lainnya menjadi tugas wanita. Dalam hal berpakaian saja akan terlihat perbedaan gender jelas, walaupun tingkat beban hidup yang ditanggung bersama sama besarnya.

Wanita Bugis juga tampil bisa sebagai orang berpengaruh dalam kerajaan, mereka tidak hanya dijadikan simbol saja, mereka sering diminta pendapatnya dalam forum musyawarah dalam kerajaan. Jadi jalannya sejarah kerajaan disana juga ikut digulirkan juga oleh kaum wanita.


Inilah Raja Wanita yang Pernah Berkuasa Setengah Abad di Tanete Barru
We Tenriolle


Kuasa Separuh Abad


Sebagai penguasa wanita, We Tenriolle setidaknya bisa berkuasa dengan baik selama lebih dari lima pulu tahun, sama halnya ratu Victoria di Inggris diabad yang sama dengan We Tenriolle. Semasa We Tenriolle-lah sejarah Tanette terukir karena We Tenriolle adalah sultan wanitanya. Sama halnya Ratu Victoria, We Tenriolle berkuasa lebih dari limapuluh tahun—We Tenriolle 55 tahun sejak 1855-1910 dan Victoria 64 tahun sejak 1837-1901. Hanya bedanya kekuasaan Ratu Victoria lebih stabil ketimbang We Tenriolle yang kerap mendapat pertentangan dari keluarganya sendiri diawal kekuasaannya. Lama-kelamaan, We Tenriolle berhasil menstabilkan kekuasaannya.

Tanette selama dibawah tahta We Tenriolle terbilang stabil meski diawal kekuasaannya dia mendapat tentangan dari keluarganya, termasuk ibunya. Tanpa banyak darah yang tertumpah We Tenriolle berhasil melewatinya. We Tenriolle berhasil mempertahankan keberadaan kerajaan Tanette yang semakin dikebiri pemerintah kolonial dengan status Leenvorsten. Status macam ini sebenarnya tidak memberi ruang bagi We Tenriolle untuk menentang pemerintah kolonial, bersekutu adalah satu-satunya jalan bagi Tanette.

We Tenriolle, terlepas dari kestabilan kekuasaan selama beberapa dekade sebelum abad XX, bukanlah seorang raja besar seperti Sultan Hasanudin di Gowa atau Aru Palaka. We Tenriolle hanya seorang raja sebuah kerajaan yang tidak besar bernama Tanette. Sisi menarik dari We tenriolle adalah karena dia wanita dan bisa berkuasa selama limapuluh dengan stabil. Selain itu, We Tenriolle juga berkuasa ketika Indonesia, kala itu Hindia Belanda, sedang dilanda banyak perubahan termasuk masuknya modernisasi yang secara tidak sengaja dibawa orang-orang Belanda.

Banyak kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan memperahankan nilai-nilai tradisional-nya, termasuk Tanette. Modernisasi yang dipetik dari We Tenriolle sebenarnya terbatas sekali. Salah satunya adalah sekolah modern yang didirikannya di Tanette. Walau kecil, langkah We Tenriolle ini adalah usaha We Tenriolle untuk memenuhi tuntutan zaman yang didominasi peradaban dunia barat di awal abad XX itu.

We Tenriolle berkuasa ketika tanah Hindia Belanda memasuki perubahan yang cukup penting. Dunia banyak mengalami perubahan besar diabad XIX. Abad XIX, menghasilkan banyak teknologi, ilmu pengetahuan juga pemikiran yang masih berkembang saat ini. Abad XIX, yang juga abad kejayaan kolonialisme, adalah masa-masa transformasi modernisme dari barat ke timur. Negara penjajah memasukan banyak nilai barat dalam kehidupan bangsawan jajahan di timur. Begitu juga Belanda memasukan banyak berbagai hasil budaya barat ke Hindia Belanda-nya, kecuali Demokrasi dan sistem otonominya.

We Tenriolle telah menyerap nilai-nilai barat itu dalam porsi yang tidak begitu besar. We Tenriolle telah mengadopsi sistem pendidikan barat, sekolah, dengan mendirikan sekolah di Tanette. Walau hanya sebuah sekolah yang setara dengan sekolah kelas dua, hal ini cukup berarti bagi orang-orang Tanette yang jauh dari pusat kemajuan Hindia Belanda, Jawa.

Wanita perkasa Tanete yang berkuasa dalam kurun waktu yang cukup lama itu wafat di Pancana tahun 1919 dan dikubur di Pancana, kecamatan Tanete Rilau. Makamnya dibangun dengan bentuk kubah model arsitekter Eropa. Dimakam itu, putranya ikut bersemayam juga.

Dari makamnya terlihat dia begitu dihormati, setidaknya oleh rakyat Tanete-nya. Makamnya menjadi bangunan bersejarah yang harusnya bisa membuat semua orang ingat bahwa dialah, We Tenriolle, Victoria dari timur.

Makam itu adalah bukti bahwa Sulawesi Selatan bukan hanya ada nama Sultan Hasanudin, tapi juga ada We Tenriolle. Dalam silsilah keluarga kerajaan Tanete yang buat Brautigam—seperti yang tercantum dalam Nota betreettende het zelfbesturend landschap Tanette terbitan tahun 1914—tidak dijelaskan nama pengganti We Tenriolle. Kemungkinan Tanette vakkum, tanpa penguasa, selama beberapa tahun sejak mundurnya We Tenriolle tahun 1910. Brautigam banyak menyebut We Tenriolle dalam catatannya itu. Bukti bahwa wanita ini begitu dikenal di Tanette pada pergantian abad dari abad XIX ke XX.

Setelah We Tenriolle turun tahta lalu wafat, Tanete mungkin hanya menjadi sebuah distrik yang berada dibawah koordinasi Keresidenan Sulawesi Selatan pada zaman Kolonial Hindia Belanda. Tidak adanya catatan yang dipublikasikan secara luas, banyak yang berpendapat bahkan berspekulasi bagaimana nasib Tanette setelah We Tenriolle turun tahta. Sejarah Tanette seolah berakhir ditahun 1910 itu dan We Tenriolle tinggallah menjadi legenda ibu penguasa seperti halnya Victoria dari belahan timur yang terlupakan dalam sejarah Republik Indonesia yang selalu dipolitisir.

Banyak raja wanita lain selain We Tenriolle, termasuk di wilayah Indonesia timur sendiri. Selain We Tenriolle di Sulawesi Selatan ada beberapa nama wanita Bugis yang menjadi raja. Bukan sekadar menjadi raja, tapi menggunakan pengaruhnya sebagai raja untuk tampil dalam sejarah negeri ini untuk menentang kekuasaan kolonial.

Seperti Besse Kajuara alias We Tenriawaru yang ketika memimpin Bone bergelar Sultanah Ummulhadi yang berkuasa 1857 sampai dengan 1860. Bersama saudara iparnya, Toang Calo Arung Amali, menunjukan sikap permusuhan terhadap pemerintah kolonial. Sikap permusuhan itu lebih hebat dari suaminya—La Parenrengi Arumpugik, raja Bone XXVII (1845-1857) yang juga menentang pemerintah kolonial. Sebelum Besse kajuara, ada juga Sultan wanita Bone yang juga menentang politik kolonial Belanda. We Maniratu alias Arung Datak seorang raja bone XXV yang bergelar Sultanah Salehah Rabiyatuddin.

We Tenriolle tentu berbeda dengan We Maniratu atau Besse Kajuara. We Tenriolle menjauhi perang yang berakibat pada penderitaan. We Tenriolle lebih memilih koperatif dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebuah langkah yang lebih menguntungkan, meski banyak yang berpikiran bahwa tidak frontal dengan Belanda dianggap antek penjajah.

Nyatanya, sikap We Tenriolle yang terbuka itu membuat orang Bugis di pesisir barat jajzirah Sulawesi Selatan itu bisa menerima masuknya barat yang modern. Dan untuk melawan kebijakan kolonial Belanda di abad XX pun sudah menggunakan cara-cara modern yang jauh dari kekerasan.

Bagaimanapun pandangan orang terhadap We Tenriolle, termasuk pandangan miring tentang kedekatannya dengan pemerintah kolonial, We Tenriolle adalah seorang teladan bagi penguasa nusantara yang layak ditiru atas kepeduliannya pada pendidikan. Meski pendidikan itu belum banyak dirasakan banyak orang, namun dia sudah memulainya. Kepeduliannya pada La Galigo pun juga patut dihargai. Meski memandang ke barat, namun dia juga ikut menjaga keberadaan ceritera La Galigo. (source)

Posting Komentar